Total Tayangan Halaman

Senin, 02 Desember 2013

Konstitusionalitas Mengenai Kekuasaan Negara dalam Kegiatan Penanaman Modal (Analisis Putusan MK No. 21-22/PUU-V/2007)

Rangkaian kegiatan ekonomi yang terjadi di dalam masyarakat
diatur dan dipengaruhi oleh berbagai ketentuan hukum agar
terjadi keserasian, keadilan, dan hal-hal lain yang tidak diinginkan,
termasuk ingkar janji. Peran hukum sangat penting dalam kegiatan
ekonomi yang berkelanjutan dan berdimensi sangat luas. Peran
hukum tersebut dimulai sejak ada kata sepakat dari para pihak
apabila ingin bertransaksi, atau pada saat mempunyai keinginan
untuk mendirikan perusahaan, atau akan mulai berusaha dan
seterusnya. Perjalanan barang dan atau jasa dari produsen sampai
pada saat dinikmati peraturan baik yang bersifat privat atau
publik.Agar hukum mampu memainkan peranannya untuk
memberikan kepastian hukum pada pelaku ekonomi maka
pemerintah bertanggung jawab menjadikan hukum berwibawa
dengan jalan merespon dan menindaklanjuti pendapat dan keinginan
pakar-pakar ekonomi. Sehingga kedepan diharapkan hukum mampu
memainkan peranannya sebagai faktor pemandu, pembimbing, dan
menciptakan iklim kondusif pada bidang ekonomi.Contoh peraturan perundang-undangan yang mencerminkan
keterkaitan antara hukum dan ekonomi dapat dilihat dalam praktik.
Di antaranya, adalah UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal, UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, UU No.
8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, UU No. 7 Tahun 1992 junto
No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, UU No. 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah, UU No. 5 Tahun 1999 tentang Praktik
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, UU No. 19 Tahun
2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, dan banyak lagi UU
lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Apabila diteliti
pada bagian konsideran dari masing-masing UU dimaksud sangat
jelas memperlihatkan bahwa tujuan pengaturan yang dilakukan melalui UU tersebut adalah dalam rangka mencapai kesejahteraan
masyarakat, yakni masyarakat adil dan makmur bagi seluruh
tumpah darah Indonesia. Hal ini tidak dapat dipisahkan dari bentuk
negara kesejahteraan (welfare state) yang terlah menjadi pilihan para
pendiri Republik Indonesia sejak dicanangkannya kemerdekaan
Indonesia puluhan tahun yang lalu. Sampai sekarang, sudah banyak undang-undang yang dibuat
yang isinya mengatur soal-soal perekonomian, tetapi sebagian
terbesar tidak mencerminkan usaha yang kuat untuk menjabarkan
ketentuan dalam Pasal 33 UUD 1945 dalam rumusan norma
operasional dalam undang-undang. Kalau ada, maka ketentuan
yang diatur dalam berbagai undang-undang itu hanya merujuk
secara formal kepada Pasal 33, tetapi jiwanya tetap saja tidak
menggunakan paradigma pemikiran yang terkandung di dalam
Pasal 33 itu. Dalam menafsirkan Pasal 33 itu pun selalu diusahakan
untuk memaksakan jalan pikiran yang justru bertentangan dari
jiwa pasal itu sendiri. Misalnya terkait permohonan uji materiil UU No. 25 Tahun
2007 tentang Penanaman Modal (UU Penanaman Modal) dalam
Perkara No. 21-22/PUU-V/2007, adapun yang menjadi pemohon
adalah sekelompok orang yang mempunyai kepentingan sama,
terdiri dari Pemohon I dan Pemohon II (penggabungan perkara), sebagaimana dijelaskan dibawah ini:
1. Pemohon I (Permohonan Perkara No. 21/PUU-V/2007) yaitu
Diah Astuti dkk, yang dikuasakan kepada Johson Panjaitan
dkk.
2. Pemohon II (Permohonan Perkara No. 22/PUU-V/2007) yaitu
Daipin dkk, yang dikuasakan kepada A. Patra M. Zen dkk.
Mahkamah Konstitusi mengkualifikasikan para Pemohon
(Pemohon I dan Pemohon II) memenuhi syarat sebagaimana
dimaksud Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK yaitu sebagai perorangan
atau orang yang memiliki kepentingan yang sama serta mempunyai
kedudukan hukum (legal standing) untuk memohon pengujian UU
Penanaman Modal terhadap UUD 1945.
Pemohon setidaknya memberikan dua pandangan, bahwa
melalui UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
(UU Penanaman Modal), beragam kemewahan disediakan demi
mengundang investasi. Pertama, Undang-Undang Penanaman
Modal menyebutkan bahwa Hak Guna Usaha (HGU) dapat
diberikan dengan cara diperpanjang di muka sekaligus selama
60 tahun, dan dapat diperbarui selama 35 tahun. Sehingga, jika
dijumlah dapat mencapai 95 tahun sekaligus. Hak Guna Bangunan
dapat diberikan untuk jangka waktu 80 tahun dengan cara dapat
diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 50 tahun,
dan dapat diperbarui selama 30 tahun. Hak Pakai dapat diberikan
untuk jangka waktu 70 tahun dengan cara dapat diberikan dan
diperpanjang di muka sekaligus selama 45 tahun, dan dapat
diperbarui selama 25 tahun.
Jangka waktu yang sangat lama akan mengakibatkan masyarakat
terjauhkan dari peluang untuk mengakses tanah guna pertanian
atas tanah negara, sementara pertumbuhan dan tingkat populasi
masyarakat terus bertambah. Di sisi lain, pemerintah seharusnya dapat belajar dari sejarah maraknya konflik, baik bersifat laten
maupun terbuka sebagai akibat dari sengketa agraria. Secara
kuantitatif, masyarakat Indonesia mayoritas merupakan petani.
Namun, mayoritas mereka tidak mempunyai lahan, sehingga banyak
petani bergantung sebagai buruh tani dan perkebunan.
Kedua, Undang-Undang Penanaman Modal memungkinkan
investor baik dari dalam negeri maupun luar negeri secara legal
melakukan capital flight. Peralihan aset ke luar jelas akan berdampak
kerugian bagi bangsa Indonesia, khususnya para tenaga kerja yang
sebelumnya berada di bawah perusahaan yang beralih. Pemutusan
Hubungan Kerja massal pasti akan semakin marak dan akan
mempengaruhi nilai rupiah. Selain itu, UU Penanaman Modal juga
akan mempersempit peluang kesempatan pekerja dalam negeri.
Sebab, melalui kebijakan UU Penanaman Modal, liberalisasi tenaga
kerja asing dibuka lebar. Ketiga, UU Penanaman Modal memberi
kemudahan pelbagai bentuk pajak.
Dalam pengajuan permohonan uji materiil UU Penanaman
Modal dalam Perkara No. 21-22/PUU-V/2007, pemohon mengajukan
alasan-alasan sebagaimana dibawah ini:

1. Penjelasan Pasal 3 ayat (1) huruf d UU Penanaman Modal
bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945.
2. Pasal 12 ayat (4) UU Penanaman Modal bertentangan dengan
Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945.
3. Pasal 22 ayat (1) huruf a, b dan c UU Penanaman Modal
bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945.
4. Pasal 22 ayat (1) huruf a, b dan c UU Penanaman Modal juga
bertentangan dengan Pasal 28C ayat (1) UUD 1945.
5. Pasal 8 ayat (1) UU Penanaman Modal bertentangan dengan
Pasal 27 ayat (2) UUD 1945.
Akhirnya pemohon memberikan kesimpulan, berdasarkan
seluruh uraian di atas, maka Penjelasan Pasal 3 Ayat (1) huruf d, Pasal 4 Ayat (2) huruf a, Pasal 8 Ayat (1), Pasal 12 Ayat (4), dan Pasal
22 Ayat (1) huruf a, b, dan c UU Penanaman Modal bertentangan
dengan Pasal 33 Ayat (2) dan (3), Pasal 27 Ayat (2), Pasal 28A dan
Pasal 28C UUD 1945.
Sehingga dengan demikian Penjelasan Pasal 3 Ayat (1) huruf d,
Pasal 4 Ayat (2) huruf a, Pasal 8 Ayat (1), Pasal 12 Ayat (4), dan Pasal
22 Ayat (1) huruf a, b, c UU Penanaman Modal “Tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat”. Akhirnya Mahkamah Konstitusi dalam
sidang pleno Rapat Permusyawaratan Hakim tanggal 25 Maret 2008
mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian dan ditolak
untuk selebihnya.

1 komentar: